ISLAM INDONESIA
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Meraih Kemuliaan Dengan Islam

Go down

Meraih Kemuliaan Dengan Islam Empty Meraih Kemuliaan Dengan Islam

Post by Admin Sun May 04, 2008 8:16 pm

Jika mau jujur, syariat sesungguhnya menyuguhkan keselarasan dalam
kehidupan manusia. Jilbab, misalnya. Syariat ini tak terhitung lagi
kontribusinya dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang bersusila.
Namun syariat yang mulia ini justru hendak dicerabut oleh para aktivis
perempuan dengan dalih kebebasan (berbusana). Padahal, sekali lagi jika
mau jujur, apa kontribusi yang ditawarkan emansipasi dalam kehidupan
masyarakat? Menurunkah kejahatan seksual seiring dengan makin
lantangnya teriakan emansipasi?

Dalam hadits Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu,
diungkapkan sebuah dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan seorang budak wanita:

قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟
قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’
Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ ‘Anda Rasulullah,’
jawab budak wanita itu. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‘Bebaskan dia. Karena sesungguhnya dia seorang wanita yang beriman’.”
(HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullahu dalam Sunan Abi Dawud, no. 930)

Cermatilah kisah mulia di atas. Sejenak saja merenungi, niscaya akan
banyak didapat mutiara hikmah dari hadits tersebut. Akan ditemukan,
betapa kemuliaan seorang wanita bukan semata keelokan paras dan
tubuhnya. Bukan pula semata karena kekayaan yang menyelimutinya. Tidak
juga lantaran semata keturunan. Kisah hadits di atas membeberkan
demikian gamblang, betapa keimanan yang kokoh menyembul di kalbu mampu
mengantarkan seseorang memperoleh kemuliaan. Keimanan dan ilmu yang
dimiliki jariyah (budak wanita) itu telah mengurai belenggu budak yang
melekat padanya. Ia menjadi seorang wanita yang dengan leluasa
menghirup udara kebebasan senyatanya.

Cermatilah, dengan keimanan yang menggumpal di relung hatinya, sang
budak wanita itu dengan penuh keyakinan mengimani bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala di (atas) langit dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah Rasulullah. Kenapa ia mampu menjawab? Tak lain karena ilmu yang
ia miliki. Ya, melalui keimanan dan ilmu, maka akan terangkatlah
martabat dan harkat seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Al-Mujadilah: 11)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menyatakan:
“Allah k tidak menentukan (kadar, pen) derajat, karena derajat ini
terkait faktor keimanan dan keilmuan yang ada pada seseorang. Semakin
kokoh keimanan dan semakin banyak keilmuan yang bisa bermanfaat bagi
dirinya dan orang lain, maka akan makin banyak (tinggi, pen.) pula
derajatnya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, hal. 1473)

Karenanya, sungguh teramat tidak santun bila ada seorang muslimah
menyuarakan bahwa kemuliaan wanita bisa tergapai manakala keseteraan
jender terpenuhi. Naif, dan teramat naif, bila seorang muslimah masih
beragitasi meneriakkan emansipasi wanita sebagai upaya memuliakan
kehidupan kaum wanita. Bagai menegakkan benang basah, ia tengah berlari
mengejar fatamorgana yang tiada kunjung akan direguknya. Saat dirinya
menyuarakan emansipasi wanita, saat itu pula setali demi setali ikatan
Islam terlepas dari dirinya. Setan menyeretnya secara halus, yang
berujung pada terjerembabnya para pegiat emansipasi ke kubang kehinaan.
Hina karena syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dipinggirkan. Tak
dijadikan rujukan. Selisiklah apa yang terjadi pada Kongres Perempuan
Pertama yang dimulai tanggal 22 Desember 1928. Kongres, yang merupakan
awal pergerakan emansipasi di Indonesia, dalam berbagai paparan
sebagian pesertanya telah mengarah kepada pelecehan nilai-nilai agama
Islam. Sebut misal masalah poligami. Dalam Kongres itu nampak sebagian
peserta lebih membanggakan nilai-nilai Barat, meski ada pula coba yang
menetralisir. (Lihat Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang, Susan
Blackburn)

Ini hanya sebuah kasus. Cuplikan dari perjalanan sejarah pergerakan
emansipasi wanita di Bumi Nusantara ini. Betapa kelam jalan yang akan
ditempuh para muslimah kala mereka menanggalkan nilai-nilai Islam.
Keterpurukan, kehinaan, dan kerendahan akan selalu membayangi jalan
hidupnya. Singkaplah apa yang telah diperingatkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa keterpurukan
itu terjadi lantaran agama tak lagi dipatuhi. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (Thaha: 123-124)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, kata beliau radhiyallahu ‘anhuma: “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ
عَلَيْكُمْ ذُلًّا لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian telah terlibat jual beli ‘inah (riba), kalian telah
mengambil ekor-ekor sapi, merasa senang dengan pertanian dan kalian
tinggalkan jihad, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan timpakan
kehinaan kepada kalian. Tak akan dicabut kehinaan itu hingga kalian
kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)

Lihatlah, hina dina seseorang atau suatu kaum lebih disebabkan faktor
kepatuhan dan ketaatan kepada risalah yang mulia ini, yaitu Islam. Kaum
muslimah tak akan menuai kemuliaan dengan meniru sepak terjang para
wanita kafir, meniru langkah-langkah para wanita Barat.

Terkait masalah ini, bahwa mengikuti atau meniru orang-orang kafir,
termasuk mengikuti atau meniru gaya hidup orang-orang Barat, adalah
salah satu hal yang bisa melemahkan dan menjadikan kaum muslimin hina.
Ini sebagaimana diungkapkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullahu. Kata beliau, “Sebagaimana telah ditetapkan dalam
syariat, sesungguhnya tidak boleh bagi kaum muslimin, laki-laki atau
wanita, bertasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dalam bentuk
peribadatan-peribadatan mereka, perayaan-perayaan mereka, atau
pakaian-pakaian khusus mereka. Ini merupakan kaidah yang luhur yang
terdapat dalam syariat Islam. Terlepas dari itu semua, sekarang ini
–maaf– banyak dari kalangan kaum muslimin (sampaipun mereka yang sibuk
dengan urusan agama dan dakwah) masih diliputi ketidaktahuan terhadap
agamanya. Masih suka mengikuti hawa nafsunya, larut bersama
kebiasaan-kebiasaan temporer kekinian (yang bertentangan dengan
syariat, pen.), atau bersikap taqlid (membebek) kepada orang-orang
kafir Eropa. Hingga yang demikian ini menjadi sebab terpuruk (hina) dan
lemahnya kaum muslimin. Maka, orang-orang asing itupun menekan kaum
muslimin dan menjajahnya.

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)

Jika mereka mengetahui.” (Hijab Al-Mar`ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, hal. 161)

Bercerminlah dari kisah Asiyah istri Fir’aun. Atas keteguhan hati untuk
mengikut apa yang dititahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dirinya
memperoleh kemuliaan hakiki. Allah Al-Karim menyediakan baginya rumah
di surga sesuai permohonannya. Firman-Nya:

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ
قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ
فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman, ketika ia berkata: ‘Ya Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah
di sisi-Mu di dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.”
(At-Tahrim: 11)

Istiqamah di atas jalan-Nya, walau kegetiran hidup melanda, telah
mengantarkannya menjadi wanita mulia di surga. Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

خَطَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اْلأَرْضِ
أَرْبَعَةَ خُطُوطٍ قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا هَذَا؟ قَالُوا: اللهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ خَدِيجَةُ بِنْتُ
خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ
وَآسِيَةُ بِنْتُ مُزَاحِمٍ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggores di tanah empat
guratan garis. (Kemudian) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Apakah kalian mengetahui hal ini?’ Para sahabat menjawab:
‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seutama-utama para wanita penghuni surga
adalah Khadijah putri Khuwailid, Fathimah putri Muhammad, Maryam putri
‘Imran, dan Asiyah putri Muzahim, istri Fir’aun’.” (HR. Al-Imam Ahmad
dalam Al-Musnad 1/293, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 11928, dan Abu
Ya’la dalam Musnad-nya no. 2714. Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa`id,
9/262, mengatakan: “Rijalnya rijal shahih.” Hadits ini telah pula
dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu. Lihat
Mukhtashar Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim, Asy-Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
rahimahullahu hal. 550)

Admin
Admin

Jumlah posting : 11
Registration date : 04.05.08

https://islamindo.indonesianforum.net

Kembali Ke Atas Go down

Meraih Kemuliaan Dengan Islam Empty Re: Meraih Kemuliaan Dengan Islam

Post by Admin Sun May 04, 2008 8:18 pm

Islam tak semata memuliakan kaum pria. Kehadiran Islam telah memupus
sejarah kelam kehidupan kaum wanita. Sebelum Islam memancarkan
cahayanya, perlakuan terhadap kaum wanita di kalangan bangsa Arab
begitu buruk. Mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan adalah tradisi
Arab masa itu. Perasaan malu, jatuh martabatnya di hadapan masyarakat
manakala bayi yang lahir adalah perempuan.



وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا
وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ
أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا
يَحْكُمُونَ



“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Dia
menyembunyikan dirinya dari banyak orang disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan atau akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.” (An-Nahl: 58-59)



Selain itu, adat jahiliah Arab memperlakukan wanita sebagai barang
warisan. Bila seorang istri ditinggal wafat suaminya, maka anak
laki-lakinya berhak mewarisinya. Demikian keadaan senyatanya saat Islam
belum hadir. Amat sangat terpuruk nasib wanita.



Kini, dengan kehangatan cahaya Islam, kaum wanita mendapat tempat laik.
Islam menghasung setiap wanita muslimah untuk beramal shalih.
Menunaikan segala aktivitas yang syar’i tanpa merobek-robek fitrahnya
sebagai wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ



“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An-Nahl: 97)



Renungkanlah wahai para pegiat emansipasi, adakah dalam ayat di atas
sikap diskriminatif antara pria dan wanita? Sekali-kali tidak. Dalam
masalah berbuat kebajikan, Islam senantiasa mendorong kaum pria maupun
wanita. Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ
وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ
كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا



“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)



Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Abdurrahman bin Syaibah
yang mengatakan: “Saya mendengar Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: ‘Saya mengatakan kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, mengapa dalam
Al-Qur`an tidak menyebutkan kami (kaum wanita) sebagaimana menyebutkan
laki-laki?’ Ummu Salamah berkata: ‘Dalam beberapa hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengunjungiku kecuali (saya)
mendengar seruan beliau dari atas mimbar. Saya pun menggeraikan rambut
lantas memintalnya. Kemudian saya menuju salah satu kamar di rumah
saya. Maka saya lantas melekatkan pendengaran ke dinding, dan
terdengarlah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari atas
mimbar: ‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:



إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ



“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, ....” dst. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir ketika memberi tafsir ayat di atas, juga Tafsir
Ath-Thabari, 19/110-111)



Sekali lagi, kepada para pegiat emansipasi atau mereka yang masih
meragukan sikap adil Islam terhadap kaum wanita, adakah sikap
diskriminatif syariat Islam terhadap kaum wanita? Maka, hanya
orang-orang yang dibimbing hawa nafsunya yang akan terus-menerus
menyemburkan celaan terhadap agama mulia ini. Mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada mereka.

Admin
Admin

Jumlah posting : 11
Registration date : 04.05.08

https://islamindo.indonesianforum.net

Kembali Ke Atas Go down

Meraih Kemuliaan Dengan Islam Empty Re: Meraih Kemuliaan Dengan Islam

Post by Admin Sun May 04, 2008 8:18 pm

Dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Saat Eropa dikungkung
cengkeraman gereja hingga akhir abad ke-18, yang berakibat
dilecehkannya kaum wanita dan gelapnya dunia ilmu pengetahuan, maka
Islam telah mendorong umatnya untuk giat dalam pendidikan. Ini terjadi
jauh dalam rentangan abad. Dalam riwayat dituturkan bahwa Asy-Syifa`
bintu Abdillah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menemuiku, yang kala itu aku tengah di sisi Hafshah.
Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:



أَلاَ تُعَلِّمِينَ هَذِهِ رُقْيَةَ النَّمْلَةِ كَمَا عَلَّمْتِيهَا الْكِتَابَةَ؟



“Tidakkah engkau mengajari (Hafshah) ini ruqyah an-namlah sebagaimana
engkau telah mengajarinya menulis?” (Sunan Abu Dawud, no. 3887. Hadits
ini dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
dalam Ash-Shahihah no. 178)



Dengan keteladanan seorang shahabiyah bernama Asy-Syifa` Al-’Adawiyah,
apakah para pegiat emansipasi tetap bersikukuh bahwa keterpurukan kaum
Hawa disebabkan kungkungan agama? Apa yang diperbuat Asy-Syifa`
radhiyallahu ‘anha adalah wujud kesadaran untuk berbagi ilmu. Melalui
penguasaan ilmu itulah kaum Hawa akan mampu berkiprah. Inilah proses
pemberdayaan kaum wanita yang hakiki. Mengentaskan kebodohan yang
menyelimuti kaum wanita. Maka, saat para pegiat emansipasi masih
melakukan retorika semu, Islam telah mendorong umatnya beramal nyata
memerhatikan nasib kaum wanita. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan firman-Nya:



وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ



“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)



Perhatian Islam terhadap pemberdayaan kaum wanita, tak semata
memotivasi agar mencintai dan menguasai ilmu itu sendiri. Tapi lebih
dari itu, Islam memerhatikan pula proses pencapaian ilmu tersebut.
Misal, kaum wanita tetap harus menunaikan adab-adab di luar rumah, di
tempat belajar, tidak berbaur dengan lawan jenis yang bukan mahram, dan
lainnya. Semua ini merupakan bagian dari proses memuliakan kaum wanita.
Termasuk di antaranya tetap menjaga hijab. Menutup seluruh auratnya
yang tak boleh dilihat laki-laki di luar mahram. Menutup anggota tubuh
bagi wanita merupakan kewajiban yang ditentukan syariat. Ini salah satu
aturan kesusilaan dalam Islam. Hikmah adanya ketentuan menutup seluruh
anggota tubuh wanita adalah sebagai bukti perlindungan dan pemeliharaan
dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kaum wanita diperintah menutup
tubuh agar mereka mudah dikenal sebagai mukminah (wanita beriman).
Sehingga, orang-orang yang munafik atau fasik tidak mengganggunya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ
أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا



“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)



Timbul suara sumbang dari kalangan pengusung emansipasi. Mereka
katakan, tak ada kaitan antara liberalisasi (kebebasan) berpakaian
seorang wanita dengan tindak pelecehan terhadap wanita. Pernyataan ini
sebagai wujud pembelaan terhadap para wanita yang berbusana tanpa
menutup aurat. Pembelaan ini diberikan mengingat ide-ide emansipasi
memberi kebebasan pada kaum wanita untuk berpakaian sesuai selera
mereka. Karena itu, bisa dimafhumi bila memperjuangkan emansipasi
setali tiga uang dengan memperjuangkan terlucutinya hijab dari kaum
wanita. Maka, bagi seorang muslimah, ada atau tidak ada kaitan antara
liberalisasi berpakaian dengan tindak pelecehan terhadap kaum wanita,
tak begitu urgen. Sebab bagi seorang muslimah, dikenakannya busana yang
menutup tubuh merupakan implementasi syariat. Meski tak menampik
kenyataan, busana yang menutupi sekujur tubuhnya dengan seizin Allah
Subhanahu wa Ta’ala bisa meminimkan bangkitnya birahi kaum pria. Ini
merupakan bentuk kontribusi sosial yang tak ternilai dalam menciptakan
kehidupan masyarakat yang bersusila. Bandingkan dengan apa yang diusung
para pengikut emansipasi wanita. Dengan ide-ide kebebasan bagi kaum
wanita, termasuk kebebasan berpakaian, maka apa yang disumbangkan
kepada masyarakat? Tak lain, sebuah masyarakat dengan konstruksi yang
melecehkan wanita, mengumbar syahwat, pornografi dan berbagai kerusakan
lainnya. Masyarakat menjadi ‘sakit’. Maka ketentuan syariat yang
mewajibkan setiap wanita menutup sekujur tubuhnya adalah rahmat.



وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ



“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)

Admin
Admin

Jumlah posting : 11
Registration date : 04.05.08

https://islamindo.indonesianforum.net

Kembali Ke Atas Go down

Meraih Kemuliaan Dengan Islam Empty Re: Meraih Kemuliaan Dengan Islam

Post by Admin Sun May 04, 2008 8:18 pm

Melalui ketentuan safar (bepergian) bagi kaum wanita, akan nampak bahwa
Islam begitu memuliakan martabat dan kehormatan wanita. Siapa saja yang
mengetahui ihwal safar pada masa kini, serta mengetahui betapa
dahsyatnya kerusakan pola gaul pria dan wanita, niscaya akan bisa
memahami hikmah larangan bepergian sendirian bagi wanita. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:









لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ
عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ
اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا،
وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ. فَقَالَ: اخْرُجْ مَعَهَا









“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali disertai mahramnya.
Dan tidak boleh pula seorang laki-laki bersama dengan seorang wanita
kecuali ada bersamanya mahram.” Maka seorang laki-laki berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya saya menginginkan keluar bersama pasukan
(untuk) begini dan begini, sementara istri saya menginginkan berhaji.”
Kemudian kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pergilah
bersama istrimu.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
Bab Hajjin Nisa`, no. 1862, dan Muslim, Bab Safar Al-Mar`ah ma’a
Mahramin ila Hajj wa ghairih, no. 1341)









Maka bepergian sendirian tanpa mahram, bergaul dengan pria yang bukan
mahram, berada di tempat sepi bersama pria bukan mahram, semua itu
merupakan tradisi yang bakal mengantarkan kaum wanita pada malapetaka,
kehancuran moral, kerendahan martabat, dan kehormatan sebagai wanita.
Demikian pula, apa yang akan berdampak pada pria pun sama. Namun
ketahuilah, bahwa akibat yang akan ditanggung wanita di dunia jauh
lebih buruk. Karena ini menyangkut kehormatan diri, kesehatan, dan
status sosial kemanusiaan. Sedangkan apa yang kelak ditanggung di
akhirat tentu lebih dahsyat lagi bagi wanita maupun pria yang
bersangkutan. Kita memohon keselamatan dari itu semua.









Bisa jadi ada yang berpendapat bahwa bepergian haji bagi wanita pada
masa sekarang ini tak mengapa. Zaman sudah berubah, keamanan bisa
terjaga. Kalau ini yang dijadikan alasan, maka akan timbul pertanyaan:
di manakah letak ketaatan terhadap larangan yang disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Para ulama sendiri telah sepakat bahwa
seorang wanita bepergian sendirian adalah terlarang. Seperti
diungkapkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, bahwa tiap sesuatu yang
disebut safar (bepergian) adalah terlarang bagi wanita kecuali disertai
mahram atau suaminya. Disebutkan pula oleh Asy-Syaikh Yahya bin Ali
Al-Hajuri hafizhahullah, banyak kalangan ulama yang tidak membolehkan
wanita tanpa mahram safar (bepergian) untuk berhaji. Bila tidak
didapati mahram yang menyertainya berhaji, maka dia tergolong orang
yang belum mampu berhaji. Allah k berfirman:









وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً









“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali ‘Imran: 97)









Maka, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan haji kecuali kepada
yang mampu. Sedangkan pada wanita, apabila tidak ada mahram yang
menyertainya berarti dirinya termasuk orang yang tidak memiliki
kemampuan tersebut. Ini adalah pendapat yang rajih (unggul, kuat)
berdasar keumuman dalil-dalil dalam masalah larangan safar bagi wanita
tanpa mahram. Tak ada pula dalil yang mengkhususkan kebolehan safar
bagi wanita tanpa mahram untuk berhaji. Adapun dalil yang berbunyi:









“Seorang wanita bertanya (kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam):
‘Sesungguhnya ayahku tak mampu haji dan umrah. Apakah aku boleh
menghajikan baginya?’ Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‘Hajikanlah olehmu ayahmu’.”









Ini tidaklah mengandung pengertian telah diizinkan bagi wanita tersebut
untuk safar tanpa mahram. Akan tetapi, sesungguhnya hal itu merupakan
bentuk izin bagi wanita tersebut untuk menghajikan ayahnya. Adalah
sesuatu yang sudah maklum bahwa untuk bisa menghajikan itu perlu syarat
adanya mahram bersamanya. Ini sebagaimana telah ditunjukkan dalam
dalil-dalil yang ada. (Kasyful Wa’tsa`, hal. 53-54)









Maka, hayati dan pikirkanlah! Jika bepergian untuk menunaikan suatu hal
yang wajib, yang merupakan rukun Islam kelima yaitu haji, seorang
wanita tetap tidak diperkenankan, maka apatah lagi jika bepergian
tersebut sesuatu yang bersifat mengisi waktu senggang. Cuma sekadar
tamasya dan bersenang-senang.









Paham emansipasi telah mewabah. Tak sedikit muslimah yang benaknya
terjangkiti paham ini. Tentunya, keadaan nyaris sama terjadi pula pada
kaum pria. Emansipasi dijadikan alasan untuk melampiaskan ekspresi
kebebasan yang tiada batas. Menggelandang tanpa terukur dan terkendali,
melabrak nilai-nilai agama. Melalui alasan emansipasi ini, ketentuan
syariat seperti poligami, talak, pembagian warisan, hijab, hingga
masalah khatib Jum’at pun coba didongkel untuk dipermasalahkan.









Beberapa masalah yang disebutkan tadi hanya sebagian saja yang mencuat.
Masih banyak agenda lainnya dari kalangan wanita –dengan alasan
emansipasi– yang akan atau sedang ‘diperjuangkan’. Dengan bahasa
‘ilmiah’ mereka kemas dengan ungkapan ‘rekonstruksi nilai-nilai Islam
dalam masalah jender’ atau yang semakna. Intinya, ingin memuaskan hawa
nafsunya melepaskan diri dari ikatan agama. Atau, bisa juga lantaran
ingin mengubah tatanan beragama hingga selaras dengan
pemikiran-pemikirannya yang telah terwarnai pemikiran kufur. Wallahu
ta’ala a’lam.









Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:









يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ









“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya
meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff: Cool









Wallahu a’lam.









Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=613

Admin
Admin

Jumlah posting : 11
Registration date : 04.05.08

https://islamindo.indonesianforum.net

Kembali Ke Atas Go down

Meraih Kemuliaan Dengan Islam Empty Re: Meraih Kemuliaan Dengan Islam

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik