ISLAM INDONESIA
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Islam Mengajarkan Keadilan, Bukan Persamaan dalam Segala Hal

Go down

Islam Mengajarkan Keadilan, Bukan Persamaan dalam Segala Hal Empty Islam Mengajarkan Keadilan, Bukan Persamaan dalam Segala Hal

Post by Admin Sun May 04, 2008 8:03 pm

Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
.: :.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisa`: 34)

Penjelasan Mufradat Ayat

قَوَّامُونَ

Qawwamun adalah jamak dari qawwam, yang semakna dengan kata qayyim. Artinya adalah pemimpin, pembesar, sebagai hakim dan pendidik, yang bertanggung jawab atas pengaturan sesuatu. Namun kata qawwam memiliki arti yang lebih dari qayyim. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Baghawi)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam menjelaskan ayat ini mengatakan: “Qawwam artinya pemimpin, di mana wajib atas seorang istri taat kepadanya sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan baginya untuk taat kepada suami, serta menaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya dan menjaga hartanya.” (Tafsir Ath-Thabari)

وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”, meliputi seluruh jenis nafkah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas kaum laki-laki untuk kaum perempuan di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Baik berupa mahar pernikahan, berbagai macam nafkah dalam keluarga, dan beban-beban lainnya.

قَانِتَاتٌ

Maknanya adalah wanita-wanita yang taat kepada suaminya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir)

حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ

“Memelihara diri ketika suaminya tidak ada”, yaitu para wanita yang senantiasa memelihara suaminya, dengan cara memelihara kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya.

بِمَا حَفِظَ اللهُ

Yang terpelihara adalah yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Penjelasan Ayat

Al-Allamah As-Sa’di t berkata:

“(Allah) Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa kaum lelaki itu pemimpin atas kaum wanita, yaitu menjadi penegak atas mereka dalam memerintahkan mereka untuk melaksanakan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar memelihara kewajiban-kewajiban dan mencegah mereka dari berbagai kerusakan. Maka kaum lelaki wajib memerintahkan hal tersebut kepada kaum wanita dan menjadi penegak atas mereka. Juga dalam hal memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal kepada mereka.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sebab yang mengharuskan kaum lelaki mengurusi para wanita. Dia berfirman “dengan apa yang telah Allah utamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan dengan apa yang mereka beri nafkah dari harta-harta mereka”, yaitu dengan sebab keutamaan kaum lelaki atas kaum wanita serta diberikannya kelebihan atas mereka.

Diutamakannya kaum lelaki di atas kaum wanita dari berbagai sisi: dari sisi memegang kepemimpinan dalam negara hanya dikhususkan bagi kaum lelaki; kenabian, kerasulan; dikhususkannya mereka dalam sekian banyak dari perkara ibadah seperti berjihad, melaksanakan (shalat) hari raya, dan Jum’at. Juga dari sisi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kepada mereka berupa akal, ketenangan, kesabaran, kekuatan yang mana para wanita tidak memiliki yang semisal itu. Demikian pula mereka dikhususkan dalam memberi nafkah kepada istri-istri mereka. Bahkan kebanyakan pemberian nafkah tersebut khusus menjadi tanggung jawab kaum laki-laki. Inilah yang membedakan mereka dari kaum wanita. Dan mungkin ini rahasia dari firman-Nya “dengan apa yang mereka memberi nafkah ...” dan obyeknya tidak disebutkan, untuk menunjukkan keumuman nafkah.

Dari semua ini, diketahuilah bahwa seorang laki-laki berkedudukan seperti pemimpin, tuan di hadapan istrinya. Dan istri di hadapan suami bagaikan tawanan dan pelayannya. Maka tugas seorang lelaki adalah menegakkan tanggung jawab pemeliharaan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Sedangkan tugas wanita adalah taat kepada Rabb-nya kemudian taat kepada suaminya.

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wanita-wanita yang shalihah dan yang tunduk”, yaitu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “memelihara diri di saat suaminya tidak ada”, yaitu senantiasa taat kepada suaminya walaupun suami tidak ada di sisinya, memelihara suaminya dengan menjaga diri dan hartanya. Hal itu merupakan bentuk pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq kepada mereka (untuk melakukannya), bukan dari jiwa mereka sendiri. Sebab jiwa tersebut selalu memerintahkan kepada keburukan. Namun siapa yang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kecukupan padanya dengan apa yang dia butuhkan dari perkara agama dan dunianya.” (Tafsir Taisir Al-Karim Ar-Rahman)

Islam adalah Agama yang Mengajak kepada Keadilan, bukan Persamaan dalam Segala Hal

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum pria memiliki perbedaan dengan kaum wanita. Juga, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelebihan kepada pria dalam hal kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum wanita. Di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228)

Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak. Inilah yang disebut keadilan. Adil bukanlah persamaan hak dalam segala hal. Namun adil adalah menempatkan setiap manusia pada tempat yang selayaknya dan semestinya, serta menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam syariat-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada keadilan dan bukan kepada persamaan antara sesama manusia dalam segala hal. Firman-Nya:

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa`: 58)

Dan firman-Nya:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ma`idah: Cool

Dan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah ini sangat banyak sekali. Sedangkan persamaan antara sesama manusia bukanlah ajaran Islam. Bahkan Islam senantiasa menyebutkan perbedaan antara satu dengan yang lainnya sesuai standar syariah dan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan antara yang muslim dan yang kafir, yang taat dan yang berbuat kemaksiatan, dalam firman-Nya:

لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 20)


Terakhir diubah oleh Admin tanggal Sun May 04, 2008 8:05 pm, total 1 kali diubah

Admin
Admin

Jumlah posting : 11
Registration date : 04.05.08

https://islamindo.indonesianforum.net

Kembali Ke Atas Go down

Islam Mengajarkan Keadilan, Bukan Persamaan dalam Segala Hal Empty Re: Islam Mengajarkan Keadilan, Bukan Persamaan dalam Segala Hal

Post by Admin Sun May 04, 2008 8:04 pm

Dan firman-Nya:

أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي اْلأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ
الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ

“Patutkah Kami menganggap
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan
orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami
menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang
berbuat maksiat?” (Shad: 28)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membedakan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu, dalam firman-Nya:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو اْلأَلْبَابُ

“Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.” (Az-Zumar: 9)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang
menjelaskan tentang adanya perbedaan kedudukan manusia dan tidak
menyamakan antara mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingkari Dzulkhuwaishirah yang menginginkan agar pembagian
harta rampasan perang dilakukan secara merata serta menganggap bahwa
hal tersebut termasuk keadilan.

Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu,, beliau berkata: “Tatkala Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang membagi harta berupa emas, maka datanglah
Abdullah bin Dzulkhuwaishirah At-Tamimi lalu berkata: ‘Berbuat adil-lah
engkau, wahai Rasulullah.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: ‘Celaka engkau, siapakah yang akan berbuat adil jika
aku tidak berbuat adil?’ Umar lalu berkata: ‘Izinkan saya untuk
memenggal lehernya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Biarkan dia, karena sesungguhnya dia memiliki pengikut, yang salah
seorang kalian menganggap rendah shalatnya dibandingkan shalat mereka,
puasanya dibandingkan puasa mereka. Mereka keluar dari agama
sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.” (HR. Al-Bukhari no.
6534)

Dalam riwayat Muslim t disebutkan bahwa tatkala ‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu datang dari negeri Yaman membawa emas
yang masih bercampur tanah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaginya untuk empat orang: ‘Uyainah bin Hisn, Al-Aqra’ bin Habis,
Zaid Al-Khail, yang keempat ‘Alqamah bin Ulatsah atau ‘Amir bin
Ath-Thufail. Lalu datanglah Dzulkhuwaishirah tersebut.... (HR. Muslim
no.1064)

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membagi rata harta yang beliau
dapatkan tersebut. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan kepada orang yang beliau pandang lebih mendatangkan
kemaslahatan untuk diri orang tersebut. Di dalam hadits yang lain
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Sa’d,
sesungguhnya aku memberikan (harta) kepada seseorang, padahal yang lain
lebih aku cintai daripada orang yang kuberi tersebut, karena aku
khawatir orang tersebut dilemparkan Allah ke dalam neraka.”
(HR.Al-Bukhari no. 27, Muslim no. 150)

Demikian pula halnya
antara kaum laki-laki dan perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan manusia untuk berbuat adil kepada mereka dengan
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, sesuai ketentuan yang
telah ditetapkan dalam syariat. Sebab, menyamakan antara pria dan
wanita dalam segala sesuatu adalah suatu hal yang bertentangan dengan
fitrah dan syariat. Bagaimana tidak, dari sisi penciptaan saja mereka
sudah berbeda. Di antaranya:

 Wanita memiliki fisik dan jenis kelamin yang berbeda dengan kaum lelaki

 Wanita lebih lemah dibanding kaum lelaki

 Wanita melahirkan, tidak demikian halnya kaum lelaki

 Wanita mengalami masa haid, kaum lelaki tidak

Dan masih banyak lagi perbedaan di antara keduanya.

Maka
dari itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha mengetahui
kemaslahatan hamba-Nya, menempatkan mereka pada posisinya
masing-masing. Di antara perbedaan antara keduanya dari sisi syariat
adalah:

 Wanita diperintahkan berhijab dengan menutupi seluruh tubuhnya, tidak demikian halnya kaum lelaki.

 Wanita dianjurkan tinggal di rumahnya dan tidak keluar dengan ber-tabarruj (bersolek), tidak demikian halnya kaum lelaki.

 Lelaki menjadi pemimpin rumah tangga dan melindungi para wanita yang lemah.

 Lelaki mendapatkan warisan dua kali lipat dibanding wanita.

Dan
perbedaan lainnya yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat
yang lebih mengetahui kemaslahatan para hamba-Nya tersebut.

Lelaki adalah Pemimpin dalam Bernegara dan Berumah tangga

Ayat
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa seorang
lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan seorang wanita adalah
berada di bawah perlindungan dan pemeliharaan lelaki. Oleh karena itu,
seorang wanita tidak boleh diberi tanggung jawab sebagai pemimpin yang
membawahi kaum lelaki, karena hal tersebut bertentangan dengan keadaan
penciptaan wanita itu sendiri yang penuh dengan kelemahan dan
kekurangan. Hal ini dapat mengantarkan kepada kerusakan dan kehancuran.

Di
dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari t dari hadits Abu Bakrah
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Tatkala sampai berita kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia
mengangkat seorang anak wanita Kisra1 (gelar raja Persia) sebagai
pemimpin yang memimpin mereka, maka beliau bersabda:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Tidak
akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada
seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi, bab Kitabun Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaishar, 7/4425 bersama
Al-Fath)

Al-Hafizh t setelah menyebutkan hadits ini berkata:
“Al-Khaththabi berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita
tidak boleh memegang kepemimpinan dan qadha` (menjadi hakim).” (Fathul
Bari, 7/735)

Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama
tentang tidak diperbolehkannya kaum wanita menjadi pemimpin negara.
(lihat penukilan kesepakatan tersebut dalam Adhwa`ul Bayan,
Asy-Syinqithi t, 1/75; Al-Qurthubi t dalam tafsirnya menukil dari
Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi t, 13/183, Ahkamul Qur`an, Ibnul ‘Arabi,
3/482)

Demikian pula dalam hal berumah tangga. Seorang suami
adalah pemimpin dan penanggung jawab atas rumah tangganya. Di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاس رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ،
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ،
وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ
مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ
مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemelihara, maka dia
bertanggung jawab atas apa yang dia pelihara. Seorang penguasa adalah
pemelihara atas rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas mereka.
Seorang lelaki adalah pemelihara atas keluarganya dan dia bertanggung
jawab atas mereka. Seorang wanita adalah pemelihara atas rumah tangga
suami dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang
budak adalah pemelihara atas harta tuannya dan dia bertanggung jawab
atasnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah pemelihara dan setiap kalian
bertanggung jawab atas apa yang dipeliharanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Akan
tetapi, tatkala kaum lelaki memiliki kelebihan dari satu sisi, bukan
berarti kedudukan wanita di dalam Islam tersebut menjadi rendah. Sebab,
yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala adalah ketakwaan. Apabila seorang wanita senantiasa taat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, taat kepada suami, memelihara kehormatan
diri, menjaga harta suami di saat ia ditinggal, maka dia akan
mendapatkan jaminan surga yang tidak didapatkan oleh kebanyakan kaum
lelaki yang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّتِ
الْـمَرْأَةُ خَـمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَـهَا: ادْخُلِي الْـجَنَّةَ مِنْ أَيِّ
أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita melaksanakan
shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, memelihara kemaluannya,
dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke
dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki’.” (HR. Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al-Albani t
dalam Shahih Al-Jami' no. 660)

1 Wanita ini bernama Buuraan
bintu Syairawaih bin Kisra, disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu dalam Fathul Bari menukil dari Ibnu Qutaibah. (Fathul
Bari, 7/735)

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=614

Admin
Admin

Jumlah posting : 11
Registration date : 04.05.08

https://islamindo.indonesianforum.net

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik